Pages

Kamis, 27 September 2012

Mendulang Pahala usai Ramadhan

Mendulang Pahala usai Ramadhan





Ketika Ramadhan berlalu, tersisa sepenggal duka di hati insan beriman karena harus berpisah dengan bulan yang penuh keberkahan dan kebaikan. Terbayang saat-saat yang sarat dengan ibadah; puasa, tarawih, tadarus Al-Qur`an, dzikir, istighfar, sedekah, memberi makan orang yang berbuka… Rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala dipenuhi jamaah, majelis-majelis (pengajian) dzikir dan ilmu, dipadati hadirin.

Mengingat semua itu, tersimpan satu asa: andai setiap bulan dalam setahun adalah Ramadhan. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan segala sesuatu dengan hikmah-Nya. Yang tersisa hanyalah satu tanya: Adakah umur akan sampai di tahun mendatang untuk bersua kembali dengan Ramadhan?

Ya. Ramadhan memang telah meninggalkan kita. Namun bukan berarti pupus harapan untuk meraih kebaikan demi kebaikan, karena bulan-bulan yang datang setelah Ramadhan pun memberi peluang kepada kita untuk mendulang pahala. Demikianlah seharusnya kehidupan seorang muslim. Ia habiskan umur demi umurnya, waktu demi waktunya di dunia, untuk mengumpulkan bekal agar beroleh kebahagiaan dan keberuntungan di negeri akhirat kelak.

Datangnya Syawwal setelah Ramadhan

Hari pertama bulan Syawwal ditandai dengan gema takbir, tahlil dan tahmid dari lisan-lisan kaum muslimin, menandakan tibanya hari Idul Fithri. Berpagi-pagi kaum muslimin menuju ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Idul Fithri sebagai tanda syukur kepada Rabb yang telah memberikan banyak kenikmatan, termasuk nikmat adanya hari Idul Fithri. Tidak ketinggalan kaum wanita muslimah, turut keluar ke tanah lapang. Dan keluarnya para wanita ini termasuk perkara yang disyariatkan dalam agama Islam sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.



Puasa Sunnah di Bulan Syawwal

Selain kegembiraan di hari awal bulan Syawwal dengan datangnya Idul Fithri, ada keutamaan yang dijanjikan bagi setiap insan beriman di bulan yang datang setelah Ramadhan ini, yaitu disunnahkannya ibadah puasa selama enam hari. Shahabat yang mulia Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian ia mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka puasanya itu seperti puasa setahun.”(HR. Muslim no. 2750)

Dzulhijjah Bulan Haji

Bulan Dzulhijjah yang datang setelah Syawwal dan Dzulqa’dah adalah bulan yang juga memiliki keutamaan untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Terutama di sepuluh hari yang awal, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada hari-hari yang sepuluh ini.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad fi sabilillah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang keluar berjihad membawa jiwa dan hartanya, kemudian tidak ada sesuatupun yang kembali darinya (ia kehilangan jiwanya dan hartanya dalam peperangan).”HR.At-Tirmidzi no. 757 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengenai amal shalih yang dimaksud dalam hadits tsb, red) : mencakup shalat, puasa, sedekah, dzikir, takbir, membaca Al-Qur`an, birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), silaturahim, berbuat baik kepada makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan selainnya.

Di bulan Dzulhijjah ini dilaksanakan satu ibadah akbar yang merupakan rukun kelima dari agama kita yang mulia, yakni ibadah haji ke Baitullah. Di sana, di tanah suci, di sisi Baitul ‘Atiq dan di tempat-tempat syiar haji lainnya, jutaan kaum muslimin dan muslimah berkumpul dari segala penjuru dunia dengan satu tujuan, mengagungkan syiar Allah Subhanahu wa Ta’ala, memenuhi panggilan-Nya:

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”

Ketika tamu-tamu Allah Subhanahu wa Ta’ala sedang wuquf di Arafah, kita yang tidak berhaji disunnahkan untuk puasa di hari tersebut (tanggal 9 Dzulhijjah). Puasa hari Arafah ini dinyatakan sebagai puasa sunnah yang paling utama (afdhal) menurut kesepakatan ulama. (Taudhihul Ahkam, 3/530)

Dalam pelaksanaan puasa di hari ini ada keutamaan besar yang dijanjikan sebagaimana berita dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari Arafah? Beliau bersabda:“Puasa Arafah (keutamaannya) akan menghapus dosa di tahun yang telah lewat dan tahun yang tersisa (mendatang).” (HR. Muslim no. 2739)

Penghapusan dosa di tahun mendatang maksudnya adalah seseorang itu diberi taufik untuk tidak melakukan perbuatan dosa, atau bila ia jatuh dalam perbuatan dosa, ia diberi taufik untuk melakukan perkara-perkara yang dengannya akan menghapuskan dosanya. (Subulus Salam, 2/265)
Keesokan harinya, tanggal 10 Dzulhijjah, ada lagi kegembiraan yang bisa kita rasakan sebagai anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rahmat-Nya. Yaitu datangnya hari raya haji yang dikenal dengan Idul Adhha, yang di dalamnya ada ibadah penyembelihan hewan kurban. Gema takbir, tahlil dan tahmid yang telah dikumandangkan sejak fajar hari Arafah terus terdengar pada hari berbahagia ini sampai akhir hari Tasyriq.

“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar, dan segala puji hanya milik Allah.”

Demikianlah wahai saudara/iku. Bulan-bulan yang kita lewati dalam hidup kita sebenarnya senantiasa menjanjikan kebaikan dan pahala, asalkan kita memang berniat mendulangnya sebagai bekal untuk menuju pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news



Blogroll

About